Pagi ini, aku masih menjalani rutinitasku. Menatap
handphone, menatap jam, menghirup dinginnya dunia. Dinginnya dunia? Iya, sangat
dingin. Aku tak pernah merasa sedingin ini sebelum pertengkaran kemarin. Pagi
cerah yang harusnya aku rasakan begitu hangat yang biasanya di tambah sedikit
pesan singkat mesra dan manja darimu kini tak ku dapatkan lagi.
Aku kembali merenung, terdiam, terbunuh sepi, dan masih
larut dalam sedihku. Mengapa hal yang sudah aku anggap akan menjadi cerah
keesokan harinya justru tenggelam seiring matahari terbenam? Pesan singkatmu kemarin, ya sungguh bukan
hanya menghancurkan rasaku. Tapi jiwa, dan segala harapan yang aku punya.
Aku tak mengerti, apakah ini salah kita atau memang salah
jarak? Saat jarak yang menjadi alasan utama, jujur rasanya ingin aku menabrak
jalanan panjang yang memisahkan kotaku dan kotamu. Jarak, memang sebuah alasan.
Alasan untuk tetap bertahan, alasan untuk tetap merindukan, bukanlah alasan
untuk memisahkan! Aku tak sepertimu, aku tetap tabah dan aku tak pernah menjadikan
jarak sebagai musuhku. Aku yakin, jaraklah yang mampu membuat kita semakin
dekat, semakin rindu, semakin mengharapkan. Tapi mengapa persepsimu tak pernah
sama dengan persepsimu? Kamu selalu menganggap jarak itu musuhmu. Kamu sama
saja seperti memusuhi dirimu sendiri. Kamu selalu menganggap apa yang janggal
adalah yang menghancurkan. Tidak selamanya begitu ! kebahagiaan tak selalu
dating dari kebaikan, menurutku yang buruk pun masih bisa memberikan setitik
kebahagiaan. Jarak, misalnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar